Upacara Garebeg Mulud Tahun Dal 1951 Hadirkan Gunungan Bromo

Admin | Sabtu, 13 Januari 2018 12:06

Yogyakarta, JOGJA TV| Keraton Yogyakarta memiliki cara khusus untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran Nabi Muhammad dirayakan dengan upacara tradisional berupa perayaan sekaten dan garebeg mulud. Sekaten dilaksanakan dengan menabuh gamelan selama sepekan bertempat di Pagongan lor dan Pagongan kidul Masjid Gede Kauman. Setelah sekaten berakhir dilanjutkan dengan upacara garebeg mulud pada pagi harinya. Perayaan garebeg mulud pada tahun 2017 berbeda dengan perayaan garebeg mulud dari tahun-tahun sebelumnya karena garebeg mulud pada tahun dal 1951 Jawa ini masuk pada usia sewindu. Oleh karena itu gunungan yang disajikan pun juga istimewa yakni dengan dikeluarkannya gunungan bromo atau gunungan kutug.

 

 

Gunungan bromo atau gunungan kutug merupakan gunungan istimewa yang hanya dibuat oleh Keraton Yogyakarta setiap sewindu sekali pada perayaan garebeg mulud. Berbeda dengan gunungan lainnya yang biasanya diperebutkan untuk masyarakat umum maka gunungan bromo tidak diperebutkan untuk masyarakat umum tetapi khusus dibagikan untuk abdi dalem dan kerabat keraton di dalam Keraton.

Selain dihadirkannya gunungan bromo pada perayaan sekaten tahun dal 1951 juga dilakukan ritual khusus yang hanya terjadi setiap sewindu atau delapan tahun sekali. Ritual khusus tersebut adalah jejak banon atau jejak beteng yang dilakukan oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Jejak Banon dilaksanakan setelah Sultan HB X selesai mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW di Masjid Gede Kauman. Menurut Carik KHP Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta, KRT. Widyo Condro Ismoyoningrat jejak banon atau jejak beteng tersebut ada sejarahnya. Pada jaman Sultan HB II saat bertepatan dengan perayaan sekaten Mulud Nabi waktu itu tiba-tiba Keraton Yogyakarta diserang oleh Inggris. Serangan mendadak tersebut menyebabkan Sultan HB II tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama sehingga untuk meloloskan diri Sultan kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng. Peristiwa itu pun kemudian diperingati setiap sewindu sekali pada perayaan maulud nabi. Hingga sekarang peristiwa itu dikenal dengan ritual jebol beteng atau jejak banon dan dilakukan oleh Sultan di butulan Jalan Kauman, Masjid Gede. Ritual Jejak banon merupakan simbol keberanian Sultan dalam menghadapi serangan musuh untuk melindungi rakyatnya.

Upacara garebeg mulud diawali dengan upacara miyos gongso atau keluarnya dua perangkat gamelan pusaka milik Keraton Yogyakarta, yaitu gongso kanjeng kyai Guntur Madu dan gongso Kanjeng Kyai Nogowilogo. Kedua gamelan tersebut dikeluarkan dari Keraton untuk dibawa ke Masjid Gede Kauman untuk ditabuh selama sepekan di sana. Di Masjid Gede Kauman gamelan tersebut diletakkan di pagongan lor dan pagongan kidul dan dibunyikan selama tujuh hari berturut-turut kecuali pada malam jumat.

Prosesi ditabuhnya gamelan selama seminggu di Masjid Gede tersebut yang dikenal dengan sekaten. Setelah ditabuh selama seminggu maka sekaten berakhir. Selanjutnya gamelan dibawa masuk kembali ke dalam Keraton melalui upacara kondur gongso. Upacara kondur gongso diawali dengan pisowanan malam garebeg di Masjid Gede Kauman.

Dalam upacara kondur gongso ini Sri Sultan HB X melakukan ritual nyebar udhik-udhik di Pagongan lor dan Pagongan kidul Masjid Gede Kauman. Setelah selesai nyebar udhik-udhik Sultan HB X masuk ke dalam masjid guna mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Setelah selesai mendengarkan pembacaan riwayat nabi Sultan kemudian keluar ke arah selatan menuju butulan Jalan Kauman untuk melakukan ritual jejak beteng.

Rangkaian sekaten masih berlanjut hingga pagi berikutnya yakni digelarnya upacara garebeg mulud yang dilaksanakan di Masjid Gede Kauman. Garebeg Mulud merupakan puncak peringatan sekaten. Dalam garebeg tahun dal 1951 Jawa atau tahun 2017 pihak Keraton Yogyakarta mengeluarkan 8 gunungan yang terdiri dari 3 gunungan kakung, 1 gunungan putri, 1 gunungan darat, 1 gunungan pawuhan, 1 gunungan gepak dan 1 gunungan bromo. Gunungan bromo merupakan gunungan khusus yang hanya disajikan setiap delapan tahun sekali.

 

Upacara garebeg Mulud dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Seluruh bregodo prajurit Keraton dikerahkan dalam pelaksanaan garebeg tersebut. Jika biasanya para prajurit Keraton hanya menunggu di luar Masjid Gede Kauman namun pada garebeg kali ini mereka semuanya masuk ke dalam area pekarangan Masjid Gede untuk melakukan upacara tersendiri.

Bregodo atau kelompok prajurit yang ada di Keraton Yogyakarta terdiri dari bregodo Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis dan Surakarsa. Delapan bregodo prajurit satu persatu keluar dari Siti Hinggil Keraton melewati Pagelaran dan berhenti di Alun-Alun utara dengan gaya berbarisnya yang khas. Setiap bregodo prajurit memakai kostum kebesaran masing-masing dan membawa panji-panji serta memainkan alat musik khas prajurit. Setelah kelompok prajurit keluar kemudian disusul dengan keluarnya Manggala Yudha atau Panglima Keraton.

Tak lama kemudian gunungan sebanyak 8 buah dibawa keluar dari dalam Siti Hinggil Keraton dengan diiringi oleh dua bregodo prajurit. Gunungan kemudian dibawa menuju Alun-Alun Utara untuk dilakukan upacara. Saat itu, semua prajurit melakukan tembakan salvo secara serentak sebagai tanda penghormatan. Gunungan yang terbuat dari hasil bumi tersebut menjadi ciri khas dalam setiap upacara garebeg. Bukan tanpa makna tetapi gunungan menjadi simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta yang kemudian dibagikan kepada kawula atau rakyatnya.

Delapan gunungan tersebut semuanya didoakan di Masjid Gede Kauman. Setelah itu lima gunungan diperebutkan kepada masyarakat umum di Masjid Gede Kauman. Sedangkan dua gunungan masing-masing dibawa ke Kepatihan dan Puro Pakualaman untuk diperebutkan di sana. Sementara itu, gunungan bromo setelah didoakan di masjid dibawa masuk kembali ke Keraton untuk dibagikan kepada para abdi dalem dan kerabat keraton.

Setelah didoakan gunungan siap diperebutkan kepada seluruh masyarakat yang hadir di sekitar Masjid Gede Kauman. Inilah moment yang ditunggu-tunggu dalam setiap perayaan garebeg mulud nabi. Begitu gunungan diturunkan masyarakat lalu merangsek maju untuk mengambil makanan yang disusun menjadi gunungan tersebut.

Rebutan gunungan bukan hanya sekedar berlomba untuk mendapatkan makanan tetapi ada makna khusus di balik itu, yaitu ngalab berkah. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa bagi orang yang berhasil merebut makanan dari gunungan akan mendapatkan berkah dan kesejahteraan. Makanan yang didapat dari gunungan tersebut biasanya ditanam di sawah atau kebun agar tanah menjadi subur sehingga menghasilkan panen yang melimpah.

Perayaan Garebeg Maulud berlangsung turun temurun sejak Keraton Mataram Islam berdiri dan masih bisa disaksikan hingga abad ini. Garebeg Mulud digelar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal. Dalam kalender Jawa Islam bulan Rabiulawal disebut bulan Mulud. Tanggal 12 Rabiulawal menjadi peristiwa penting dalam sejarah Nabi Muhammad SAW karena umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad SAW lahir dan wafat pada tanggal dan bulan yang sama. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa (09/01/18).

 

Artikel Terkait

Bersih Dusun Karangasem

03 Januari 2018 14:51

Jogja Batik Parade

28 Desember 2017 14:12

Upacara Adat Gumbregan

25 Desember 2017 00:27