Gunungkidul, JOGJA TV|Masyarakat petani Jawa mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan rasa peduli dan sayang terhadap hewan ternaknya. Rasa peduli dan sayang kepada hewan ternak biasa diwujudkan dalam sebuah upacara adat bernama gumbregan. Seperti halnya upacara gumbregan yang dilakukan oleh warga Dusun Blimbing, Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Dalam upacara ini warga menggelar kenduri dan doa bersama agar ternak dan pemiliknya senantiasa diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi petani hewan ternak bukan hanya sekedar hewan biasa. Lebih dari itu hewan ternak memperoleh tempat yang istimewa karena hewan ternak membantu petani dalam mencari rejeki. Hewan ternak sangat berperan penting bagi petani. Tenaganya dimanfaatkan untuk mengolah sawah, kotorannya digunakan sebagai pupuk tanaman. Bahkan tenaganya juga seringkali digunakan sebagai transportasi untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dari sawah ke rumah. Selain itu, hewan ternak juga dijadikan investasi yang suatu saat bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan petani. Inilah peran penting hewan ternak bagi petani.
Mengingat pentingnya hewan ternak bagi petani maka nenek moyang orang Jawa mengadakan upacara adat gumbregan sebagai wujud tanda kasih petani kepada ternaknya. Upacara gumbregan dilakukan pada semua hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, burung dan sebagainya. Tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar hewan ternak beserta pemiliknya senantiasa diberikan keselamatan sehingga kehidupan ekonomi petani akan semakin sejahtera. “Panyuwunipun anggenipun ngingah sato kewan lan ingkang ngingah sageda kasembadan kalis nir ing sambikala”(harapannya supaya hewan ternak dan pemiliknya dapat tercapai keinginannya, selamat dari mara bahaya), kata pemangku adat Desa Karangrejek, Sardi Hadi Sudarmo
Tradisi gumbregan di Dusun Blimbing, Desa Karangrejek, Wonosari dahulu kala dilaksanakan di rumah masing-masing petani. Namun sejak dua tahun lalu tradisi gumbregan di desa tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di satu tempat yaitu di Sanggar Wacana Tirtomoyo. Di tempat ini warga pemilik ternak berkumpul membawa hewan ternaknya dan membawa berbagai ubarampe yang diperlukan untuk upacara gumbregan.
Pembina Sanggar Wacana Tirtomoyo, Heri Nugroho mengatakan tradisi gumbregan dilaksanakan pada wuku gumbreg dalam sistim penanggalan Jawa. Jika dahulu tradisi gumbregan dilakukan sendiri-sendiri maka sekarang warga menggelarnya secara bersama-sama di Sanggar Wacana Tirtomoyo. Di sini warga menggelar kenduri dan doa bersama.
Tradisi gumbregan bukan hanya sebagai tanda kasih petani kepada hewan ternaknya. Lebih dari itu petani juga memiliki keyakinan bahwa seluruh hewan di muka bumi ini mulai dari hewan melata hingga hewan berkaki empat adalah milik Nabi Sulaiman. Dengan demikian tradisi ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Nabi Sulaiman yang telah menjaga hewan ternak.
Ubarampe yang disiapkan petani untuk upacara gumbregan meliputi kupat tumpeng, kupat luwar, kupat sinto, kupat boto, kupat lepet, kupat minthi, kupat peliasu dan kupat bucu lima. Di samping itu, juga disajikan umbi-umbian atau krowotan seperti singkong, kimpul, uwi, mbili, tela pendem, garut, ganyong dan katak. Selain itu, juga ada jadah woran, jajan pasar, tumpeng bancakan, boreh dan kembang gumbregan yang terdiri dari mawar, kantil dan kenanga.
Ubarampe makanan yang disajikan adalah makanan sederhana. Hal ini melambangkan hidup yang sederhana. Makanan sederhana ini adalah simbol andap asor dan tawadhu. Sebagai hamba Allah, manusia wajib memohon kepada Allah agar diberikan kehidupan yang tentram dan selalu mendapatkan rejeki yang berlimpah.
Setelah semua ubarampe disiapkan warga bersiap memulai upacara gumbregan. Upacara dihadiri oleh pemilik hewan ternak dan beberapa tamu undangan serta masyarakat dan anak-anak. Pada jaman dahulu hewan ternak biasa digembala oleh anak-anak atau disebutcah angon.
Upacara diawali doa bersama yang dipimpin oleh ulama. Doa dilantunkan untuk memohon keselamatan serta agar diberikan rejeki melimpah.
Usai kenduri bersama warga yang hadir menyaksikan upacara gumbregan kemudian berebut gunungan kupat yang sudah disiapkan oleh pemilik ternak. Rebutan gunungan kupat dimaknai untuk menghilangkan segala sukerta atau rintangan sehingga hewan ternak dapat lestari dan berkembang biak dengan baik.
Dalam upacara gumbregan itu pemilik ternak memerciki ternaknya dengan air kembang dan dilanjutkan dengan mengoleskan boreh pada tanduk hewan. Prosesi ini dilakukan sebagai tolak bala.
Tradisi gumbregan adalah bukti sifat luhur masyarakat petani Jawa, khususnya di Gunungkidul yang begitu peduli dan sayang terhadap hewan ternaknya. Berbagi hasil bumi kepada hewan ternak adalah ucapan terimakasih dari petani untuk ternaknya.(Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 19/12/17).