Sleman, JOGJA TV| Mungkin tidak sedikit orangtua yang mengetahui homeschooling. Homeschooling adalah istilah bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Homeschooling telah diatur di Permendikbud nomor 129 Tahun 2014 sehingga homeschooling telah sah diakui oleh pemerintah Indonesia.
Homeschooling bukanlah hal yang baru di Indonesia. Hanya saja zaman dulu belum ada istilah homeschooling. Sejak zaman Ki Hajar Dewantara sudah banyak orang tua yang mendidik anaknya sendiri di rumah karena dulu belum ada sekolah formal. Hal semacam itu disebut homeschooling. Homeschooling tidak hanya guru datang ke rumah tetapi ada berbagai cara, yaitu orangtua diperbolehkan mendidik anaknya sendiri secara intensif.
Ada tiga jenis homeschooling di Indonesia, yakni tunggal, majemuk, dan komunitas. Homeschooling tunggal yaitu orangtua mendidik anaknya sendiri di rumah atau bisa dengan mendatangkan guru di rumah. Homeschooling majemuk yaitu satu atau dua keluarga mendidik anak-anaknya seacara bersama-sama. Homeschooling komunitas adalah beberapa orangtua berkumpul untuk mendidik anaknya sehingga tercipta komunitas. Homeschooling komunitas anak didiknya harus datang ke sekolah dan maksimal hanya lima orang.
Di Indonesia masih banyak orangtua yang mengharuskan anaknya untuk belajar di sekolah formal. Namun sebenarnya ada tiga jalur pendidikan di Indonesia yang sudah ditetapkan dalam UU nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu jalur informal, nonformal, dan formal. Jalur informal adalah pendidikan yang berbasis keluarga. Sedangkan nonformal adalah pendidikan di luar sekolah, seperti bimbingan belajar, homeschooling, PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan), dan sebagainya. Adanya berbagai jalur pendidikan tersebut maka anak-anak dapat memilih sesuai dengan bakat, minat, dan kompetensinya. Hanya saja pola pikir masyarakat sekarang ini, pendidikan hanyalah sebatas formal.
Para orangtua diharapkan untuk tidak memaksa putra-putrinya belajar apa dan dimana karena akan menyebabkan anak putus sekolah. Oleh karena itu, diharapkan adanya keterbukaan antara orangtua dan anak. Orangtua hendaklah sering mengajak berdiskusi dengan anaknya tentang pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di masa depan sehingga anak mempunyai pandangan untuk lebih fokus pada bidang tertentu.
Terlebih lagi tidak semua anak bisa belajar di sekolah formal. Ada tujuh faktor mengapa anak belajar di homeschooling. Pertama, anak yang perlu perhatian khusus, seperti anak yang mempunyai traumatik dan depresi. Kedua, anak yang berkebutuhan khusus, seperti anak autis, hiperaktif, insomnia, cacat fisik, dan sebagainya yang tidak memungkin anak datang ke sekolah. Ketiga, anak yang kecanduan game online. Anak yang seperti itu biasanya tidak bisa bangun pagi sehingga dia perlu sekolah khusus. Keempat, anak yang mempunyai kesibukan tinggi, seperti anak yang sudah menjadi artis. Anak-anak seperti itu sibuk dengan kejar tayang dan setiap hari shooting yang membuat dia tidak sempat belajar sehingga akan lebih optimal bila sekolah di homeschooling. Kelima, anak yang merasa kurang nyaman di sekolah formal karena bully fisik dan bully verbal yang akahirnya membuat anak keluar dari sekolah. Keenam, orangtua yang sering pindah-pindah tempat karena pekerjaan, sehingga anak akhirnya harus putus sekolah atau menyesuaikan dengan sekolah yang baru. Ketujuh, anak yang putus sekolah karena merasa kesulitan mencari sekolah.
Anak-anak yang memerlukan perhatian khusus perlu ada pendekatan psikologi selain pendekatan akademik. Anak-anak yang traumatik dan depresi akan sulit bila langsung diberi pelajaran maka sebaiknya perlu pendekatan psikologi. Pendekatan psikologi fungsinya untuk mengobati psikologis anak-anak yang memiliki traumatik dan depresi. Selain itu, pendekatan psikologis dapat menganalisis bakat, minat, dan potensi dari anak-anak tersebut. Kemudian dilanjutkan pendekatan akademik sesuai dengan modalitas belajar yang dimiliki tadi.
Homeschooling juga memiliki delapan standar kurikulum seperti di sekolah formal. Hanya saja kurikumlum tersebut dikembangkan untuk disesuaikan dengan kondisi anak. Perbedaan kurikulum homeschooling dengan kurikulum sekolah formal hanya pada standar prosesnya. Jika di sekolah formal sudah tersistem sehingga anak-anak tidak bisa memilih jadwal sendiri, maka di homeschooling jadwal belajar bisa disesuaikan dengan kondisi anak.
Selain itu, homeschooling mempunyai tiga model dalam pembelajaran dimana setiap model ini harus dilakukan oleh muridnya. Pertama, model tatap muka adalah guru dan murid bertemu secara langsung, tapi biasanya model pembelajaran ini waktunya hanya terbatas karena kondisi murid. Oleh karena itu, anak-anak juga bisa melakukan tatap muka secara online sehingga anak yang mempunyai kesibukan tinggi tetap bisa belajar. Kedua, model mandiri adalah anak belajar sendiri di rumah didampingi oleh orangtua tetapi tetap dikontrol oleh lembaga homeschooling, yaitu oleh guru-guru yang ada di homeschooling. Ketiga, tutorial yang biasanya diadakan seminggu sekali.
Anak dari jenjang SD, SMP, maupun SMA dapat belajar di homeschooling. Anak homeschooling yang berusia SMA juga terdapat penjurusan seperti di sekolah formal. Bahkan homeschooling juga memberikan pelajaran sesuai dengan bakat dan minat anak, seperti di bidang musik, tari, olah raga, lukis, dan sebagainya.
Anak yang belajar di homeschooling juga bisa mengikuti ujian nasional (UN) dengan mengambil ujian kesetaraan atau bisa bergabung di sekolah formal. Bila merujuk ke Permendikbud nomor 129 Tahun 2014, anak-anak homeschooling dapat ikut ujian di sekolah formal. Anak-anak homeschooling juga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Hal tersebut telah diatur di Permen nomor 17 Tahun 2010. Kemudian juga terdapat surat edaran menteri nomor 107 tahun 2006 bahwa anak-anak dari nonfomal mempunyai hak fleksibilitas yang sama, yakni bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau jenjang yang berikutnya. Selain itu, anak-anak dari jenjang SD yang hendak melanjutkan ke SMP juga bisa mendaftar baik secara manual maupun online. Jadi tidak masalah apabila anak mau pindah jalur dari homeschooling ke formal maupun sebaliknya. Semuanya sudah di atur.
Menurut Ir. Kusnanto, MM selaku Direktur Homeschooling menyatakan bahwa di Yogyakarta homeschooling sudah mulai ada sejak tahun 2010 dan hingga sekarang sudah terdapat sekitar depalan lembaga homeschooling. Homeschooling juga sudah mulai berkembang di kota-kota kecil. Dahulu homeschooling memang dianggap sebagai trend pendidikan di kalangan elit atau masyarakat menengah ke atas, seperti artis, anak pejabat, dan sebagainya. Akan tetapi, homeschooling juga untuk semua lapisan masyarakat. Di Yogyakarta sendiri peminat homeschooling semakin banyak bahkan lebih banyak dibandingkan dengan sekolah-sekolah formal.
Bagi para orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya di homeschooling dapat memilih homeschooling yang sudah mempunyai izin dan sudah terakreditasi. Homeschooling yang sudah terakreditasi A dapat dibilang sudah setara dengan sekolah formal karena indikator penilaiannya adalah delapan standar mutu pendidikan. Usia minimal anak yang dapat belajar di homeschooling adalah 6,5 tahun. Anak-anak homeschooling yang sudah lulus diberikan bekal pengetahuan yang baik, keterampilan yang baik, dan pembentukan karakter. (Tim Web Jogja TV) Sumber: Jogja Now, Sabtu, 27 Oktober 2018).