Bantul, JOGJA TV| Sejak berabad silam nenek moyang masyarakat Jawa membuat karya batik dengan menggunakan bahan alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan warna alam lebih sehat dan ramah lingkungan. Batik warna natural tidak mesti terlihat kusam karena dengan proses pencelupan yang maksimal maka akan didapatkan warna yang matang. Inilah yang dilakukan oleh Eyster Puspitasari pemilik Galery dan Workshop Puspita Batik yang beralamat di Babakan RT 06 Poncosari, Srandakan, Bantul. Puspita Batik spesifik memproduksi batik warna alam dari tumbuhan indigofera. Puspita Batik terkenal memiliki warna yang matang karena proses pencelupan warna dilakukan berulang kali hingga benar-benar maksimal.
Galery dan Workshop Puspita Batik berdiri sejak tahun 2013. Awal mula mendirikan usaha Eyster Puspitasari membuat sketsa sendiri dan kemudian diwarnai sendiri. Batik yang ia desain kemudian diupload ke media sosial dan ternyata mendapat respon bagus dari masyarakat.
Berbeda dengan batik pada umumnya yang rata-rata menggunakan warna sintetis maka tidak demikian dengan Puspita Batik. Puspita Batik memilih menggunakan warna alam yang terbuat dari tumbuhan indigofera. Hal ini dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar kembali memanfaatkan bahan baku alam yang tidak merusak lingkungan. “Zat warna alam dibuat dengan konsep yang ramah lingkungan, aman buat pengrajinnya, aman juga bagi yang memakainya, ” kata Eyster Puspitasari.
Awal mula Eyster menggunakan warna alam untuk batik karena terinspirasi dari suaminya yang memproduksi zat pewarna alam. Eyster pun kemudian berpikir untuk memproduksi batik dengan memanfaatkan zat warna alam. Zat warna alam yang ia pilih adalah warna indigo dan inilah yang menjadi ciri khas dari Puspita Batik. Indigo tidak ada proses penguncian karena proses pengunciannya sudah secara otomatis. Larutan pewarna indigo menggunakan campuran gula jawa dan kapur. Bahan itulah yang dapat mengunci warna secara otomatis.
Tampilan batik zat warna alam juga dipengaruhi oleh motif dan kain sehingga dalam membuat batik warna alam tidak boleh secara sembarangan tetapi harus memilih motif dan kain yang benar-benar bagus. Selain itu, proses pencelupan warna juga harus dilakukan berulang-ulang agar didapatkan warna yang matang. Proses pencelupan warna yang lama inilah yang membedakan dengan batik warna sintetis. Maka tidak mengherankan batik warna alam lebih eksklusif dan harganya tentu lebih mahal dari batik warna sintetis.
Untuk mendapatkan zat warna alam indigofera, Puspita Batik tidak mengalami kesulitan karena mampu memproduksinya sendiri. Di sekitar rumah produksi terdapat lahan cukup luas yang berisi tanaman indigofera. Tanaman inilah yang kemudian diolah menjadi zat warna alam sebagai bahan baku untuk mewarnai batik.
Batik warna alam tidak dapat diproduksi secara massal. Dalam setiap proses pewarnaan akan menghasilkan warna yang berbeda dalam setiap kain. Hal ini antaralain dipengaruhi oleh cuaca, jenis tumbuhan yang digunakan dan umur tanaman yang digunakan.
Batik warna alam indigofera produksi Puspita Batik dipasarkan melalui online seperti facebook dan instagram. Selain itu juga dipasarkan melalui event-event pameran dan diadakan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Kota. Sebagai pengrajin batik Eyster berharap supaya pemerintah lebih banyak mengadakan event pameran sehingga dapat membantu untuk pemasaran batik.
Terkait banyaknya printing motif batik yang saat ini banyak ditemukan di pasaran Eyster berharap agar ada edukasi untuk masyarakat bahwa printing bukanlah batik. “Printing ya printing, batik ya batik karena batik yang diakui itu hanya ada dua yaitu batik cap dan batik tulis,” papar Eyster. (Rum) Sumber: Amazing Batik, kamis 25/01/18).