Gunungkidul, JOGJA TV| Setiap setahun sekali khususnya sehabis masa panen raya warga Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul mengadakan bersih desa atau rasulan. Pelaksanaan bersih desa dilakukan pada hari rabo kliwon setelah bulan suro dalam penanggalan Jawa. Hari rabo kliwon memiliki arti tersendiri bagi warga Desa Wonosari karena hari itu merupakan hari jadi Desa Wonosari. Bertepatan dengan hari jadi Desa Wonosari kemudian warga menggelar rasulan sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang diterima dari Tuhan Yang Maha Esa.
Ungkapan rasa syukur warga kepada Allah SWT yang telah memberikan rejeki tak ternilai diwujudkan dalam simbol gunungan hasil pertanian warga Desa Wonosari. Sebanyak tujuh gunungan dengan bentuk macam-macam dipersembahkan warga dari tujuh padukuhan yang ada di Desa Wonosari. Padukuhan tersebut adalah Purbosari, Ringinsari, Pandansari, Gadungsari, Tawarsari, Jeruksari dan Madusari. Masing-masing padukuhan menampilkan satu bergodo yang terdiri dari gunungan dan kesenian.
Gunungan yang dirangkai warga dengan kreativitas seni tersebut diarak dari Alun-alun Wonosari menuju Balai Desa Wonosari. Jarak tempuh kirab gunungan tersebut tidaklah jauh, hanya sekitar satu kilometer. Meski kirab gunungan hanya menempuh jarak yang cukup pendek tetapi mampu menyedot perhatian warga karena para peserta yang terlibat dalam kirab sangat banyak dan sangat kental dengan nuansa budaya Jawa.
Desa Wonosari merupakan ibukota dari Kabupaten Gunungkidul. Tempat ini menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan sehingga kota Wonosari selalu menjadi tujuan warga untuk beraktivitas ekonomi.
Meski modernitas telah menyentuh Desa Wonosari namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan warga setempat untuk tetap melestarikan budaya Jawa peninggalan nenek moyang. Wujud pelestarian budaya tersebut salah satunya dengan menggelar bersih desa setiap setahun sekali sehabis panen raya.
Tradisi bersih desa atau rasulan telah mengakar kuat dalam kehidupan warga Desa Wonosari. Bagi mereka adat budaya ini akan terus dijaga sampai kapan pun karena nilai-nilai yang ada di dalam bersih desa sangat besar manfaatnya bagi kehidupan warga. Nilai- nilai tersebut adalah nilai kebersamaan dan guyub rukun serta selalu ingat kepada Sang Pencipta yang telah memberikan limpahan rejeki berupa materi maupun keselamatan.
Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari terdiri dari 7 padukuhan yakni Purbosari, Ringinsari, Pandansari, Gadungsari, Tawarsari, Jeruksari dan Madusari. Setiap sehabis masa panen warga Desa Wonosari mengungkapkan rasa syukur mereka dengan menggelar bersih desa atau rasulan. Ungkapan rasa syukur ini disimbolkan dengan membuat gunungan hasil bumi yang kemudian diarak dari Alun-Alun Wonosari menuju Balai Desa Wonosari. Setiap padukuhan membuat satu gunungan sesuai kreativitas masing-masing padukuhan. Mereka ada yang merangkai gunungan berbentuk mengerucut menyerupai gunung dan ada pula yang merangkai gunungan seperti bentuk binatang. Semua itu adalah hasil kreativitas warga yang dipersembahkan untuk meramaikan bersih desa.
Menurut Kepala Desa Wonosari, Tumijo perayaan bersih desa tahun ini digelar secara sederhana karena keterbatasan biaya sehingga hanya menampilkan kirab gunungan dan tidak menampilkan potensi budaya. Kalau biasanya ada potensi seni, potensi budaya dari padukuhan tetapi karena menghabiskan biaya cukup banyak maka panitia mengambil kebijakan untuk tidak kirab budaya tapi kirab gunungan, kata Tumijo.
Kirab gunungan dimulai sejak pukul 12.00 WIB. Meski sinar matahari cukup menyengat namun tidak menyurutkan semangat warga untuk mengikuti kirab gunungan. Seluruh warga Desa Wonosari berkumpul di Alun-Alun Wonosari untuk melakukan kirab menuju Balai Desa Wonosari sejauh satu kilometer.
Seluruh warga mulai dari anak-anak hingga orang tua berbaur menjadi satu dalam kirab budaya itu. Raut wajah mereka terlihat gembira merayakan bersih desa yang digelar setahun sekali. Inilah wujud rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan banyak rejeki kepada seluruh warga Desa Wonosari.
Jalannya kirab berakhir di Balai Desa Wonosari. Di situ seluruh warga berkumpul menyaksikan prosesi serah terima gunungan dari perwakilan warga kepada Kepala Desa Wonosari. Setelah gunungan diserahkan kemudian didoakan bersama-sama agar barokah.
Seperti biasanya setelah didoakan gunungan kemudian diperebutkan kepada warga yang datang. Rebutan gunungan menjadi moment yang dinanti-nanti oleh warga. Tak hanya luapan rasa suka cita tetapi ada makna tersendiri di balik rebutan gunungan tersebut yakni tradisi ngalab berkah. Hasil bumi yang diperoleh dari rebutan gunungan biasanya dimanfaatkan untuk dijadikan benih untuk masa tanam selanjutnya. Biasanya orang-orang mempunyai paham kalau bisa mendapatkan itu (bagian dari gunungan) nanti untuk benih selanjutnya, karena ini didoakan ada berkah dari Allah. Itu nanti bisa lestari bisa lebih baik hasilnya. Pahamnya seperti itu, kata Panitia, Sumardi.
Acara berikutnya setelah rebutan gunungan adalah atraksi kesenian dari masing-masing padukuhan. Kesenian yang ditampilkan di halaman Balai Desa Wonosari itu adalah kesenian reog dan jathilan. Meski dari dulu kesenian reog selalu ditampilkan tetapi tidak membuat warga bosan, mereka justru terlihat senang sekali menyaksikan reog dan jathilan. Penampilan reog adalah wujud pelestarian budaya tradisional.
Bersih desa dapat dijadikan sebagai media untuk mendidik masyarakat utamanya para generasi muda yang sudah luntur pemahaman budayanya. Melalui bersih desa generasi muda akan mengerti tentang siapa dirinya dan darimana asalnya atau disebut sangkan paraning dumadi. Dengan mengerti sangkan paraning dumadi maka manusia tidak akan lupa kepada Sang Pencipta.
Selain itu, bersih desa juga mampu mempersatukan warga di tengah krisis perpecahan yang saat ini marak terjadi di Indonesia. Melalui bersih desa silaturahmi warga semakin terjaga sehingga tercipta kehidupan yang aman, damai dan tenteram.
Tak kalah penting juga bersih desa mampu dijadikan penangkal terhadap masuknya budaya-budaya yang kurang baik. Kandungan nilai-nilai positif yang terdapat dalam upacara bersih desa menjadikan upacara adat ini tetap relevan untuk terus dijaga dan dilestarikan sampai kapan pun.(Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 27/03/2018).