Yogyakarta, JOGJA TV| Perayaan nyepi menjadi penanda pergantian tahun baru saka bagi umat hindu di seluruh Indonesia. Untuk menyambut datangnya tahun baru saka 1940 atau 2018 masehi umat hindu di Yogyakarta mengadakan serangkaian kegiatansalah satunya adalah kegiatan pawai budaya dengan mengarak ogoh-ogoh perwujudan dari bhutakala. Pawai budaya digelar di sepanjang jalan Malioboro, sabtu (10/03/2018) dengan mengambil tema Dengan Pawai Budaya Kita Mantapkan Kerukunan dan Persaudaraan Sejati. Tema itu diwujudkan dengan merangkul seluruh elemen masyarakat dari lintas budaya dan agama untuk terlibat dalam pawai tersebut. Sebanyak 13 ogoh-ogoh dan komunitas masyarakat turut meramaikan pawai tersebut. Event itu pun berhasil menarik perhatian masyarakat untuk menonton pawai di sepanjang jalan Malioboro.
Pawai budaya dan ogoh-ogoh dimulai dari halaman kantor DPRD DIY menuju Alun-alun utara Yogyakarta. Sebelum menuju Alun-alun utara para peserta pawai berhenti sejenak di Titik Nol untuk unjuk kebolehan di depan ribuan masyarakat yang menyaksikan. Masyarakat sangat antusias menonton suguhan kesenian yang dibawakan oleh peserta pawai.
Seni ogoh-ogoh menjadi suguhan yang sangat menarik dalam pawai tersebut. Ogoh-ogoh ini sebenarnya akan diarak dan dibakar pada saat malam pangerupukan, yakni satu hari sebelum pelaksanaan nyepi. Namun dalam pawai budaya tersebut ogoh-ogoh sengaja ditampilkan untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat umum. Ogoh-ogoh tidak hanya milik budaya hindu saja tetapi merupakan budaya Indonesia. ogoh-ogoh bukan hanya budaya Bali dan bukan budaya hindu saja tetapi ini budaya Indonesia, kata Ketua umum panitia nyepi DIY, I Komang Kesuma.
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung yang tumbuh dan berkembang pada sekitar tahun 1970an. Ogoh-ogoh merupakan visualisasi dari kepribadian bhutakala yang dipercaya umat hindu sebagai pembawa bencana dan menganggu keharmonisan manusia. Oleh karena itu, umat hindu pada saat sehari menjelang nyepi yakni waktu malam pangerupukan mereka mengarak dan membakar ogoh-ogoh di masing-masing pura. Pembakaran ogoh-ogoh merupakan symbol untuk menetralisir hal-hal buruk agar tidak menganggu manusia terutama saat melakukan brata penyepian.
Perayaan nyepi merupakan siklus kehidupan di alam semesta karena hari itu bertepatan dengan saat tilem atau bulan mati ketika planet-planet utama di alam semesta berada pada formasi sejajar pada satu garis lurus. Pada saat itulah manusia harus membersihkan diri dari perbuatan yang tidak baik dan berusaha menjadi baik. Jalan pembersihan diri disimbolkan dengan melebur watak bhutakala yang kemudian divisualisasikan dalam bentuk ogoh-ogoh yang dibakar.
Sebagai sebuah karya seni patung yang menggambarkan watak bhutakala umat hindu di Yogyakarta menampilkan ogoh-ogoh kepada masyarakat umum dalam acara pawai budaya di sepanjang jalan Malioboro.
Menurut ketua umum panitia nyepi DIY tahun saka 1940, I Komang Kesuma, ogoh-ogoh diambil dari cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Semua ogoh-ogoh yang ditampilkan masing-masing memiliki makna sendiri.
Ogoh-ogoh batharakala ditampilkan oleh keluarga mahasiswa hindu dharma Universitas Kristen Duta Wacana. Bathara kala mendapat ijin dari Bathara Siwa dan Bathari Uma untuk memakan manusia yang lahir pada waktu tumbak wayang.
Ogoh-ogoh Subali dan Sugriwa ditampilkan oleh keluarga mahasiswa hindu Sumatra-Yogyakarta. Ogoh-ogoh Subali-Sugriwa menceritakan tentang kekisruhan kakak beradik. Pesan yang terkandung dari ditampilkannya Subali dan Sugriwa dalam pawai budaya ini adalah untuk mengajak masyarakat agar menghilangkan segala bentuk kekisruhan sehingga tercipta persaudaraan yang sejati. Demikian ungkap I Komang Kesuma.
Penampilan berikutnya adalah ogoh-ogoh persembahan dari Baracuda family.
Ogoh-Ogoh sapuh leger merupakan persembahan dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Respati Yogyakarta. Ogoh-ogoh sapuh leger ini mengisahkan tentang Bathara kala.
Berikutnya, ogoh-ogoh bhuta kuning dan bhuta ijo yang merupakan karya dari muda-mudi hindu dharma Kabupaten Gunungkidul. Ogoh-ogoh bhuta kuning dan bhuta ijo merupakan penggambaran alam semesta. Warna tubuh bhuta kuning dan bhuta ijo adalah simbol keagungan dan kemakmuran. Sedangkan bentuk bhuta yang kuat dan kekar melambangkan sifat dan watak penuh kekuasaan. Watak yang murka dan penuh kekuasaan dapat dikendalikan dengan melaksanakan brata penyepian sehingga akan tercapai kehidupan yang tentram dan damai.
ogoh-ogoh kepala clurut ditampilkan oleh Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma UGM. Disusul ogoh-ogoh tarupule dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ogoh-ogoh Tarupule merupakan perwujudan dari Wrhaspati raja yang merupakan penguasa pohon besar.
Ogoh-ogoh Tarakasura ditampilkan oleh Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma UNY. Ogoh-ogoh ini mengisahkan tentang seorang raja Asura bernama Tarakasura yang mendapat anugerah dari Dewa Brahma karena tapanya yang berat. Tarakasura memperoleh kekuatan yang hebat sehingga membuatnya sombong dan ingin menguasai ketiga dunia. Tarakasura kemudian menyerang alam para dewa dan membuat kekacauan di ketiga dunia. Para Dewa kemudian memohon kepada Dewa Siwa dengan mengutus putranya, Katikeya untuk mengalahkan raksasa Tarakasura.
Ogoh-ogoh Wanara murka dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma ISI Yogyakarta. Wanara murka berasal dari pedalaman hutan. Dalam cerita Ramayana ia digambarkan sebagai ras manusia kera. Dalam hening ia memecah riuh. Dalam riuh ia memecah amarah dan dalam amarah ia memecah perang. Wanara murka digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa.
Selain menampilkan ogoh-ogoh pawai budaya tersebut juga menampilkan gunungan yang merupakan persembahan dari pemuda Hindu Banguntapan Bantul. Dalam konsep agama Hindu gunung adalah tempatnya Dewa Siwa yang merupakan sumber dari segala sumber kehidupan. Sementara itu, dalam budaya Jawa gunungan melambangkan budaya agraris yang kemudian disimbolkan dalam bentuk gunungan lanang dan gunungan wadon. Gunungan dibuat dari hasil bumi berupa sayuran, palawija dan buah-buahan. Dalam hal ini gunungan melambangkan kesuburan.
Pawai budaya juga melibatkan berbagai komunitas yang ada di masyarakat dan juga instansi pemerintah, seperti kelompok agama, budaya, dimas diajeng dan macam-macam suku yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bhineka tunggal ika yang ada di Indonesia yang harus selalu dijaga demi terwujudnya kerukunan dan kedamaian di negeri ini.
Tujuan dari digelarnya pawai budaya adalah untuk mengenalkan beragam kebudayaan yang ada di Indonesia. Bermacam suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia harus dijaga dengan baik demi terciptanya kemajuan Indonesia. Selain itu, dengan digelarnya pawai budaya ini diharapkan akan meningkatkan pariwisata di DIY. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 20/03/2018).