Sleman, JOGJA TV|Macapat sering diidentikkan sebagai tembang tradisional yang berkembang di dalam tembok keraton. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa sebenarnya macapat justru merupakan produk seni suara yang berasal dari luar tembok kraton sejak jaman kerajaan Jawa kuno. Menurut pakar sastra Jawa Kuno dari Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Manu Jayaatmaja Widya Seputra, macapat sebenarnya sudah ada sejak sebelum Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, tradisi tembang macapat berkembang di luar tembok kraton. Dalam kosmologi Jawa disebutkan, pada jaman itu terdapat satu daerah di luar kraton yang bernama Macapat. Jenis tembang yang berasal dari daerah Macapat ini kemudian dibawa masuk ke dalam kraton.
Di dalam Kraton sendiri saat itu, lanjut Manu, terdapat jenis tembang lain yang disebut kakawin yang merupakan adaptasi dari Kawi Sansekerta. Seiring dengan lunturnya pengaruh budaya India di Kraton Majapahit kemudian jenis tembang yang berasal dari daerah Macapat tersebut dibawa masuk ke dalam kraton. Tembang macapat pada masa itu masih disebut kidung. Ada dua jenis kidung yaitu kidung tantri Kediri dan tantri demung. Selain itu, jenis tembang smaradana, durma, pocung dan artati (dhandhanggula) juga sudah ada. Dengan demikian, tradisi macapat sudah ada sejak jaman kerajaan Jawa kuno.
Wilayah Yogyakarta dahulu merupakan pusat Kerajaan Jawa Kuno sebelum akhirnya pusat kerajaan tersebut pindah ke Jawa Timur. Yogyakarta ini dahulu merupakan wilayahnya para Brahmana. Dalam hal ini Yogyakarta merupakan wilayah Macapat dari Kerajaan Mataram Kuno. Dengan demikian, para peniliti menyimpulkan bahwa asal usul macapat berasal sejak dari jaman Mataram Kuno, tepatnya di wilayah Yogyakarta. Wilayah Ngayogyakarta dulu adalah wilayah para Brahmana yang ini merupakan wilayah Macapat dari Kerajaan Mataram Kuno. Oleh karena itu, penelitian terakhir menyatakan bahwa memang asal usulnya itu ada di Yogyakarta macapat itu, karena tembang-tembang inilah yang dikembangkan oleh para Brahmana, papar Manu.
Perkembangan jaman berlanjut, pada masa Mataram Islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati macapat tetap dikembangkan di dalam kraton. Hingga masa Mataram Islam di era sekarang, yakni di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta dan juga Kraton Kasunanan Suarakarta tradisi macapat terus dilestarikan sebagai bentuk seni suara yang mengandung ajaran piwulang.
Kraton memanfaatkan seni suara ini sebagai saranaWidyadanayang berarti memberi pengetahuan kepada rakyatnya. Macapat dipandang efektif untuk memberikan pengetahuan ajaran kepada rakyat karena dengan tembang orang akan lebih mudah menerima ajaran.
Sebagai tembang atau puisi tradisional macapat memiliki aturan tertentu, meliputi guru gatra (jumlah larik) guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (bunyi suku kata dalam akhir larik). Unsur-unsur inilah yang dinamakan metrum. Metrum berfungsi sebagai pembeda jenis tembang yang satu dengan jenis tembang yang lain, misalnya tembang dhandhanggula memiliki metrum yang berbeda dengan metrum tembang kinanti, dan sebagainya. Tembang macapat terdiri 11 macam, yaitu maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandhanggula, durma, pangkur, megatruh, pocung.
Setiap jenis tembang macapat memiliki cengkok yang jumlahnya mencapai puluhan. Tembang dhandhanggula misalnya. Tembang ini memiliki cengkok sebanyak 88 cengkok. Agar kekayaan budaya ini tidak hilang Manu berharap supaya jenis-jenis cengkok ini direkam. Tolonglah kekayaan yang ada di dalam macapat, misalnya cengkok tolong direkam supaya ini tidak hilang, himbaunya.(Rum) Sumber: Citra Jogja, minggu 20/08/17).