Yogyakarta, JOGJA TV| Untuk menghidupkan kembali tradisi merti kampung yang dulu pernah ada di Kampung Gambiran, Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, warga Kampung Gambiran menggelar merti kampung dengan menghadirkan enam gunungan yang merupakan persembahan dari lima RW yang ada di kampung Gambiran. Upacara adat yang dikemas secara sederhana ini ternyata masih menarik perhatian warga meskipun mereka tinggal di wilayah perkotaan.
Sekitar puluhan tahun yang lalu sebagian besar wilayah Gambiran, Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta merupakan lahan pertanian yang subur tanahnya. Hamparan padi dan tanaman palawija menjadi sumber matapencaharian warga setempat. Masyarakatnya pun hidup dalam kebersamaan yang kuat. Setelah masa panen tiba warga Gambiran kala itu rutin menggelar upacara majemukan atau merti desa sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.
Namun seiring perkembangan jaman lahan-lahan pertanian di Kampung Gambiran menyusut dan beralih fungsi menjadi tempat pemukiman warga. Menyusutnya lahan pertanian praktis menjadikan tradisi Majemukan di Kampung Gambiran menghilang. Jalinan persaudaraan di antara warga Gambiran juga agak renggang terutama ketika sistim Rukun Kampung (RK) berubah menjadi Rukun Warga (RW).
Untuk mempererat kembali tali persaudaraan diantara warga Gambiran yang dulu sangat rukun maka di tahun 2017 ini warga setempat menghidupan kembali tradisi Merti Kampung Gambiran. Tujuannya untuk mempererat kembali tali persaudaraan di antara warga Gambiran, karena dulu waktu RK kita bagus sekali tetapi setelah RW kan pecah. Jadi Merti Kampung itu melanjutkan mempererat tali persaudaraan di antara warga Gambiran, kata Panitia Merti Kampung Gambiran, Susilo Edi.
Merti Kampung Gambiran dikemas dalam bentuk kirab budaya. Rute kirab dimulai dari Taman Legawong RW 11 dan berakhir di halaman Masjid Purwo HS. Lima RW yang ada di Kampung Gambiran turut ambil bagian dalam kirab budaya ini. Masing-masing RW mempersembahkan gunungan yang menyimbolkan potensi warga setempat. Tidak hanya warga sajayang menyajikan gunungan namun dalam event itu panitia juga menyajikan satu gunungan, sehingga total gunungan yang disajikan ada enam.
Kirab budaya Merti Kampung Gambiran berkeliling menyusuri lima RW yang ada di Kampung Gambiran sebagai wujud napak tilas. Selain mengarak gunungan kirab tersebut juga menampilkan kesenian untuk menghibur warga yang menyaksikan jalannya kirab.
Iring-iringan kirab antaralain menampilkan bregodo Juru Kinthing yang ditampilkan oleh RW 10. Ki Juru Kinthing merupakan pepunden cikal bakal Kampung Gambiran. Menurut penuturan dari panitia acara, Susilo Edi, dahulu pada masa Kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVI Juru Kinthing berperan sebagai senopati perang yang mampu menguasai Pulau Jawa. Selain itu, Ki juru Kinthing juga sangat berjasa sekali terhadap Kampung Gambiran karena beliau adalah orang yang pertama kali tinggal di wilayah Gambiran. empat ratus tahun yang lalu di sini masih alas Mentaok beliau sudah tinggal disini, sehingga kita wujud syukur pada dia (Juru Kinthing), kata Susilo Edi.
Nama Gambiran sendiri menurut sejarahnya ada dua versi. Versi pertama Gambiran berasal dari gumbira. Dahulu ketika Ki Juru Kinthing berperang untuk menaklukkan wilayah Madura dan Sumenep beliau menang sehingga ketika pulang bersuka ria dan gembira. Sebagai bentuk wujud syukur dan rasa gembira kampung tempat tinggalnya kemudian dinamakan Gambiran.
Versi lainnya menyebutkan bahwa Gambiran sudah ada sejak jaman Mataram Hindu. Di wilayah yang saat ini bernama Gambiran itu dahulu kala di tempat tersebut banyak tumbuh pohon gambir. Di sini dulu terkenal alas gambir waktu Kerajaan Mataram Hindu, kata Susilo Edi. Banyaknya pohon gambir yang tumbuh di situ menjadikan kampung itu dinamakan Gambiran.
Dalam kirab selain menampilkan bergodo Juru Kinthing juga ada bergodo lainnya seperti bregodo lombok abang, bergodo lombok ireng, bergodo bugis, bergodo edan-edanan dan sebagainya. Setiap RW menampilkan bergodo sendiri-sendiri.
Di sepanjang rute yang dilalui kirab warga kampung tampak antusias menyaksikannya. Mereka terasa terhibur dengan kirab budaya yang rutin digelar setahun sekali sejak tahun 2012 ini. Meskipun Kampung Gambiran telah bertransformasi menjadi kampung yang maju dan pesat namun warga tak ingin meninggalkan budaya merti kampung yang merupakan warisan dari nenek moyang. Inilah wujud nguri-nguri budaya yang perlu dipupuk terus agar tidak tergerus oleh kemajuan jaman.
Seusai kirabwarga kemudian menggelar kenduri ageng. Dalam kenduri ini setiap RW menyajikan tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Kenduri ageng merupakan doa bersama yang dipimpin oleh Rois setempat. Lantunan doa memohon keselamatan serta memohon kehidupan yang lebih baik terucap dari bibir warga. Makna dari kenduri ageng adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Kampung Gambiran dijauhkan dari malapetaka dan marabahaya. Selain itu, agar Gambiran bisa gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja.
Usai berdoa warga kemudian makan bersama atau kembul bujana. Mereka tampak menikmati aneka makanan yang disajikan oleh warga. Makan bersama juga bisa menjadi wahana untuk saling bertegur sapa dan berbagi cerita.
Setelah kenduri ageng dan makan bersama warga kemudian bersiap di dekat gunungan untuk mulai berebut gunungan. Mereka rela berdesak-desakan agar bisa mengambil bagian dari gunungan. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa terlihat antusias mengikuti rebutan gunungan. Inilah moment yang ditunggu-tunggu warga setiap kali digelar merti kampung Gambiran.
Rangkaian Merti Kampung Gambiran ditutup dengan pagelaran wayang kulit pada malam harinya dengan lakon Petruk dadi ratu oleh dalang Ki Seno Nugroho.
Merti Kampung Gambiran penting untuk terus dilestarikan hingga anak cucu. Kegiatan budaya seperti ini bisa menjadi media efektif untuk mempererat kerukunan antar warga sehingga akan tercipta kehidupan yang tentram, damai dan sejahtera. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 03/10/2017)