Sleman, JOGJA TV| Dalam rangka untuk memelihara dan mengembangkan tari klasik produk kraton yang telah berusia ratusan tahun, Dinas Kebudayaan DIY akan menyelenggarakan event Gelar Budaya Jogja Catur Sagatra 2018. Event yang memanfaatkan dana keistimewaan ini akan menampilkan tari klasik yang berasal dari empat keraton, yakni dari Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, Kadipaten Pura Pakualaman, dan Kadipaten Mangkunegaran. Meskipun sama-sama merupakan trah dari Keraton Mataram namun keempat keraton ini masing-masing memiliki perbedaan dalam hal teknik tari. Untuk mengetahui ciri khas gerak tari dari keempat keraton tersebut masyarakat dipersilahkan menyaksikan pertunjukan Gelar Tari Klasik Catur Sagatra 2018 yang akan diselenggarakan di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada tanggal 15-16 Juli 2018. Dalam rangkaian Gelar Tari Klasik itu juga akan ditampilkan seni tradisi yang berakar dari masyarakat, seperti jathilan dan reog. Kesenian rakyat tersebut akan ditampilkan pada tanggal 11-12 Juli 2018 bertempat di Taman Budaya Yogyakarta.
Gelar Budaya Jogja Catur Sagatra 2018 yang menampilkan tari klasik dari empat keraton dimaksudkan dapat merekatkan kembali komunikasi keempat keraton tersebut. Keempat keraton ini adalah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kadipaten Pura Pakualaman dan Kadipaten Mangkunegaran. Keempat keraton ini sama-sama berasal dari trah Mataram. Oleh karena itu, gelar tari klasik catur sagatra dimaksudkan dapat merajut kembali hubungan keempat keraton. Secara etimologi catur berarti empat, sagatra atau sagotrah berarti satu. Jadi empat keraton tersebut direkatkan kembali bahwa mereka sebetulnya adalah saudara. “Jadi kita merekatkan kembali bahwa kita adalah sama-sama dari Mataram,” kata pihak Pura Pakualaman, KPH. Indra Kusuma.
Dalam pagelaran tari klasik tersebut, lanjut KPH. Indra Kusuma Kadipaten Pura Pakualaman akan menampilkan dua beksan atau tari klasik yaitu tari wilaya kusuma jaya yang diciptakan berdasarkan tafsir dari serat Sestradisihul. Para pemain tari klasik wilaya kusuma jaya ini seluruhnya adalah laki-laki.
Di samping itu, pihak Pura Pakualaman juga akan menampilkan tari klasik tandya taya yang seluruh penarinya adalah perempuan. Tari tandya taya ini memiliki gerak khas Pura Pakualaman.
Menurut kurator dari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, Dr. Bambang Pujasworo,S.ST., M.Hum semenjak terjadinya palihan negari menjadi Keraton Kasultanan Ngayogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta masing-masing keraton mencari identitas tersendiri dan itu merupakan identitas lokal yang sangat spesifik di dalam gaya tarinya. Gaya tari antara Keraton Surakarta berbeda dengan gaya tari Keraton Ngayogyakarta dan berbeda pula dengan gaya tari dari Kadipaten Mangkunegaran maupun Kadipaten Pura Pakualaman. “Gerakan berbeda bahkan dasar filosofi yang digunakannya pun juga berbeda,” kata Bambang Pujasworo.
Dasar filosofi tari merupakan prinsip yang harus dipegang oleh penari. Misalnya Keraton Surakarta memiliki filosofi tari Hasta sawanda yang meliputi pacak, pancat, lulut, wilet, luwes, ulat, yama, gendhing. Seorang penari Surakarta harus berpegang pada prinsip ini.
Sementara itu tari klasik gaya Yogyakarta memiliki filosofi sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh. Prinsip dasar filosofi itu kemudian diterjemahkan menjadi teknik tari gaya Yogyakarta.
Perbedaan gaya tari klasik yang berasal dari empat istana yang ada di Yogyakarta dan Surakarta ini menjadi kekayaan adiluhung yang patut untuk dilestarikan dan dikembangkan.
Pada event pertunjukan tari klasik catur sagatra yang akan dihelat di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada 15-16 Juli Keraton Surakarta akan menampilkan tari bedaya daradasih yang merupakan ciptaan Sunan Paku Buwana IV dan beksan antaka bugis.
Kadipaten Mangkunegaran akan menampilkan bedaya bedah madiun dan beksan bagadenta werkudara. Sementara itu, Keraton Yogyakarta akan menampilkan bedaya arjuna wiwaha dan beksan tedjo gatotkaca.
Pagelaran tari klasik catur sagatra sengaja ditampilkan untuk menunjukkan bahwa keempat keraton itu sesungguhnya berasal dari akar yang sama yaitu Keraton Mataram. “Pada prinsipnya harus ada komunikasi dari empat keraton ini,” kata Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Singgih Rahardjo, SH.,M.Ed.
Lebih lanjut, Singgih Rahardjo mengatakan pagelaran tari klasik diselenggarakan dalam rangka untuk memelihara sekaligus mengembangkan seni tari klasik. “Harapan saya pertunjukan tari ini bisa menginspirasi para seniman untuk menciptakan seni tari dalam rangka untuk pengembangan,” ungkapnya. (Rum) Sumber: Citra Jogja, edisi senin 09/07/2018)