Merawat Nilai Kebangsaan dan Toleransi

Admin | Jumat, 10 November 2017 10:53

Sleman, JOGJA TV| Radikalisasi berbasis agama belakangan ini marak terjadi di negara-negara Asia, salah satunya di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam Pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu mewaspadai terhadap munculnya bahaya radikalisasi yang tersebar melalui internet dan media sosial. Kuatnya arus informasi terkait radikalisme dan ekstremisme yang tersebar melalui internet, media sosial dan juga televisi dapat mempengaruhi pola pikir generasi muda Indonesia dalam bersikap. Untuk menangkal bahaya radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang mengincar generasi muda Indonesia diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang telah dirumuskan oleh bapak pendiri bangsa. Dengan merawat kembali nilai kebangsaan maka Indonesia akan selamat dari perpecahan dan lestari di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika. Demikian terangkum dalam dialog Teras Jogja, edisi senin 06/11/17).

Indonesia yang terdiri dari beribu pulau, bermacam ras, suku dan agama menjadi sasaran empuk bagi paham radikalisme, ekstrimisme dan terorisme untuk memecah persatuan bangsa. Paham radikalisasi ini tersebar melalui internet dan dan berbagai media sosial sehingga mudah diakses oleh siapapun. Generasi muda indonesia yang notabene tingkat literasi internetnya tinggi perlu berhati-hati saat membaca pesan-pesan bernada kebencian dan radikalisasi berbasis agama yang ujungnya mengarah kepada perpecahan bangsa. Untuk mengetahui narasi besar radikalisasi di Indonesia Jaringan Gusdurian Indonesia melakukan survey via media sosial seperti tweeter, facebook, instagram, WA group, website dan youtube.

Menurut survey online dilakukan oleh Jaringan Gusdurian Indonesia diketahui bahwa internet dan media sosial belakangan ini dipenuhi dengan pesan-pesan kebencian daripada pesan kebhinekaan. Bahkan dari survey di media sosial tweeter didapati kata sesat yang muncul 12 ribu kali selama kurun waktu tiga minggu pada bulan november 2016. Demikian ungkap Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alisa Wahid.

Lebih lanjut Alissa Wahid mengatakan media sosial sekarang ini banyak dipenuhi dengan konten-konten fitnah, hoaks, ujaran kebencian dan juga ajakan untuk melakukan kekerasan. Menurut Allisa Wahid sentiment kebencian ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi di seluruh dunia. Trend yang terjadi saat ini adalah budaya populisme dengan bentuk yang berbeda-beda. Populisme yang terjadi di Amerika Serikat adalah white supremacy yaitu ras kulit putih merasa lebih berkuasa daripada ras lainnya yang ada di Negara tersebut. Sementara itu, populisme yang ada di Asia cenderung berbasis agama. Agama mayoritas merasa lebih kuat dan berhak menundukkan agama minoritas. Dalam agama mayoritas tersebut biasanya terdapat radikalisasi. Misalnya Myanmar mayoritas agamanya adalah Budha maka dalam agama itu muncul kelompok radikalisme. Sementara Indonesia mayoritas agamanya adalah Islam maka kelompok radikalnya ada di agama Islam.

Selain itu, di Indonesia juga muncul purifikasi atau pemurnian agama dan claim kebenaran tunggal. Kelompok ini menganggap bahwa agama dan cara yang dianutnya adalah yang paling benar sedangkan yang lainnya salah meski agamanya sama. Akhirnya terjadi permusuhan antar kelompok meski agamanya sama. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ujaran kebencian di media sosial sangat marak.

Tumbuhnya radikalisasi di kalangan anak muda Indonesia selain disebabkan karena faktor sosial media juga disebabkan karena rendahnya penanaman nilai-nilai kebangsaan dari orangtua kepada anak. Minimnya pengetahuan orangtua terhadap perkembangan global dan nasional menyebabkan anak kemudian mengambil nilai-nilai baru dari internet dan sosial media. Oleh karena itu, orangtua perlu belajar guna mengupdate pengetahuannya terutama soal agama dan nilai kebangsaan agar bisa mendidik anaknya dengan baik. Hal ini karena orangtua adalah sumber informasi utama bagi anak.

Untuk mengetahui sikap anak muda terkait radikalisme berbasis agama yang belakangan ini muncul di Indonesia juga dilakukan survey offline di enam kota di Indonesia yaitu Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Pontianak dan Makasar. Survey melibatkan 1200 responden anak muda rentang usia 15-30 tahun dengan tingkat pendidikan SMA-Sarjana S1.

Komisioner KOMNAS HAM RI yang juga Manajer Advokasi International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Beka Ulung Hapsara memaparkan hasil survey yang ia lakukan. Dari survey offline itu diketahui hasil yang cukup optimis yaitu 80% anak muda menolak kekerasan berbasis agama dan 94% anak muda masih menganggap Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Anak-anak muda menganggap bahwa Pancasila mampu menyatukan keragaman budaya yang ada di Indonesia dan mampu mengayomi berbagai agama di Indonesia. Ini adalah hasil yang paling menggembirakan, kata Beka Ulung Hapsara.

Meski demikian, terdapat sedikit kekhawatiran karena sekitar 8% anak muda Indonesia setuju dengan kekerasan berbasis agama. Walaupun angka ini kecil tetapi perlu diwaspadai karena anak-anak muda ini kelak akan mengisi ruang-ruang publik di Indonesia.

Lebih lanjut, Beka mengatakan responden dari enam kota yang disurvey itu Makasar menduduki posisi paling memprihatikan karena rata-rata responden setuju ketika ditanya soal pelarangan mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain. Sementara itu, sikap intoleransi paling tinggi terjadi di Bandung sedangkan sikap toleransi tertinggi adalah Surabaya.

Hasil survey baik online maupun offline tersebut merefleksikan kondisi riil yang dihadapi Indonesia saat ini. Paham radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang berseliweran di dunia maya adalah ancaman nyata bagi Indonesia. Generasi muda Indonesia perlu diselamatkan dari paham-paham tersebut dengan cara menanamkan kembali nilai-nilai kebangsaan, meliputi nilai kejujuran, toleransi, keberagaman, keadilan, dan persatuan. Disamping itu, juga perlu didorong kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa budaya, seperti digelar festival budaya di setiap daerah dan menghidupkan kearifan lokal. Hal ini cukup efektif untuk menangkal paham radikalisme sehingga Indonesia akan menjadi negara yang berjaya sesuai yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. (Rum) Sumber: Teras Jogja, senin 06/11/17).

 

Artikel Terkait

Open Days and Innovation Expo 2017

06 November 2017 13:58

Upacara Adat Mitoni

02 November 2017 14:27