Garebeg Besar Gunung Wijil

Admin | Jumat, 27 Oktober 2017 14:39

Gunungkidul, JOGJA TV| Warga Dusun Gudang,Desa Kampung, Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul sudah dua tahun ini menggelar upacara Garebeg besar gunung wijil untuk menghormati pepundhen yang dimakamkan di dusun setempat, yaitu R.Ng. Djoyo Wikromo. Sosok R.Ng. Djoyo Wikromo merupakan manggala yuda atau pemimpin pasukan Bregodo Kawandasa Jaya yang dibentuk untuk melindungi Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunegara I dari serangan Belanda. Untuk mengingat jasa kebaikan R.Ng. Djoyo Wikromo warga Dusun Gudang, Kecamatan Ngawen Gunungkidul menyelenggarakan Garebeg besar gunung wijil dengan kemasan kirab budaya.

Di dusun Gudang, Desa Kampung Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul terdapat sebuah makam yang disakralkan oleh warga setempat. Sosok yang terbaring di makam tersebut adalah R.Ng. Djoyo Wikromo yang merupakan pepunden yang dihormarti oleh warga setempat.

Menurut penuturan warga setempat, Eko Purwantoro pelacakan sejarah terhadap siapa sebenarnya sosok yang terbaring di makam desa itu sudah dilakukan sejak lama. Setelah dicari melalui beberapa referensi dan narasumber yang cukup akhirnya pada tahun 2013 terjawab bahwa makam tersebut merupakan makam dari R.Ng. Djoyo Wikromo. R.Ng. Djoyo Wikromo adalah putra kedua dari Wongso Sapto Yuda atau Eyang Carik, yaitu seorang penasehat dari Kerajaan Demak yang pertama kali membawa ajaran Islam ke Kademangan Ngawen, Gunungkidul. Sedangkan ibu dari R.Ng. Djoyo Wikromo adalah keturunan dari Kertiyuda yaitu seorang prajurit pengawal selir dari Kerajaan Majapahit pada masa Raja Brawijaya V yang melarikan diri ke Kademangan Ngawen pada tahun 1500 Masehi.

R.Ng. Djoyo Wikromo mendapat mandat dari ayahandanya yaitu Eyang Carik untuk melindungi putra mahkota Kerajaan Mataram Mangkunegara Surakarta. Kemudian pada tahun 1737 R.Ng. Djoyo Wikromo yang saat itu berusia 34 tahun membentuk Bregodo kawandasa Jaya yang berjumlah 40 orang prajurit khusus untuk melindungi putra mahkota kerajaan Mataram tersebut. Putra Mahkota itu tidak lain adalah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang selanjutnya bergelar KGPAA Mangkunegara I. Selama 16 tahun R.Ng.Djoyo Wikromo berjuang bersama Raden Mas Said untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi Mataram. Melalui perjuangan yang gigih R.Ng. Djoyo Wikromo berhasil mengantarkan Raden Mas Said menduduki tahta Kerajaan Mataram (Mangkunegara).

Untuk mengenang jasa-jasa R.Ng.Djoyo Wikromo warga Dusun Gudang, Desa Kampung Kecamatan Ngawen Gunungkidul melaksanakan upacara Garebeg besar di Gunung Wijil , Dusun Gudang tempat dimakamkannya R.Ng.Djoyo Wikromo.

Upacara Garebeg Besar Gunung Wijil dilaksanakan sehari setelah Hari Raya idul Adha. Upacara ini disebut garebeg besar karena dilaksanakan pada bulan Besar dalam penanggalan Jawa. Kirab garebeg besar dimulai dari halaman rumah Dukuh Gudang, Wagino menuju Gunung Wijil tempat dimakamkannya R.Ng. Djoyo Wikromo. Meski melewati medan yang cukup terjal namun warga terlihat khidmat mengikuti jalannya kirab.

Dalam kirab tersebut diarak dua gunungan yang terdiri dari gunungan hasil bumi dan gunungan telur. Persembahan gunungan hasil bumi melambangkan wujud syukur warga karena daerah Ngawen merupakan daerah yang subur sehingga menghasilkan panenan yang melimpah. Rasa Syukur ini kemudian diwujudkan dalam bentuk gunungan yang terbuat dari palawija, sayuran dan buah-buahan.

Dalam Garebeg Besar Gunung Wijil ini warga juga mempersembahkan gunungan telur. Gunungan telur baru pertama kali disajikan dalam upacara garebeg besar. “Gunungan telur melambangkan awal kehidupan manusia dan ini menjadi icon dari Garebeg Besar Gunung Wijil”, kata Eko Purwantoro yang merupakan panitia acara.

Sesampainya di Gunung Wijil kemudian dilakukan upacara serah terima ubarampe yang terdiri dari tumpeng, pisang sanggan, ingkung ayam, jajan pasar dan sebagainya. Setelah itu, warga duduk di sekitar nisan R.Ng. Djoyo Wikromo untuk mendoakan arwah pepunden dengan dipimpin oleh ulama desa setempat.

Usai memanjatkan doa untuk arwah pepunden, dua gunungan yang dikirab tersebut kemudian diperebutkan kepada warga yang hadir menyaksikan garebeg besar. Perebutan gunungan ini sebagai ekspresi kegembiraan warga. Di samping itu, juga untuk wujud ngalab berkah dari gunungan. Biasanya biji-bijian yang didapat dari rebutan gunungan ini disimpan warga untuk kembali ditanam di ladang masing-masing. Waga yakin bahwa bibit yang diperoleh dari ngalab berkah akan menghasilkan panenan yang lebih banyak.

Setelah rebutan gunungan rangkaian acara berikutnya adalah kembul bujono atau makan bersama di komplek makam. Dalam kembul bujono ini warga duduk di atas tikar yang sama tanpa membedakan status sosial. Mereka terlihat guyub menikmati makanan yang dibawa dari rumah.

Sejarah tentang R.Ng. Djoyo Wikromo belum lama diketahui oleh warga Dusun Gudang, Desa Kampung Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Setelah warga mengetahui bahwa leluhur yang terbaring di kompleks makam Gunung Wijil adalah seorang sosok yang sangat berjasa bagi Kerajaan Mataram terutama Kraton Mangkunegaran Surakarta maka kemudian warga desa berupaya untuk memuliakan makam R.Ng. Djoyo Wikromo tersebut dengan menggelar Garebeg Besar Gunung Wijil.

Sebagai wujud hormat kepada pepunden desa warga dengan sukarela menyumbangkan tenaga, dana dan pikiran demi terlaksananya Garebeg Besar Gunung Wijil. Warga pun bersyukur karena pelaksanaan upacara Garebeg Besar tahun ini lebih meriah dibandingkan tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya beberapa abdi dalem dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Secara administrasi, sebelum Kecamatan Ngawen, Gunungkidul masuk ke wilayah DIY daerah ini berada di bawah wilayah Mangkunegaran Surakarta sehingga budaya yang ada di Kecamatan Ngawen merupakan perpaduan antara Yogyakarta dan Mangkunegaran. Pengaruh budaya Yogyakarta dan Mangkunegaran Surakarta menjadi kekayaan budaya yang patut dilestarikan. Perpaduan budaya Yogyakarta dan Mangkunegaran saling menguatkan bukan saling merendahkan. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 24/10/17)

Artikel Terkait