Usulan Sumbu Filosofi DIY ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia

Admin | Sabtu, 13 Oktober 2018 13:25

Sleman, JOGJA TV | Masyarakat Yogyakarta belum banyak yang mengetahui bahwa kota istimewa ini mempunyai sumbu filosofi dan sumbu imajiner.Adanya kedua sumbu tersebut tidak terlepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta yang didesain oleh Pangeran Hamengkubumi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Menurut Ir. Yuwono Sri Suwito, M.M dari Dinas Purbakala dan Pelestarian Warisan Budaya DIY, sumbu filosofi berarti antara Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu. Sedangkan sumbu imajiner berarti antara Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Alasan disebut sebagai sumbu imajiner karena sumbunya tidak nyata atau hanya imajinasi. Lain halnya dengan sumbu filosofi yang sumbunya nyata berupa jalan atau dapat dilihat bahwa Keraton Yogyakarta diapit enam sungai yaitu sebelah timur dan sebelah barat, di sebelah selatan terdapat Laut Selatan, dan disebelah utara terdapat Gunung Merapi yang menandakan bahwa Keraton Yogyakarta berada pada daerah dataran yang disucikan. Tanah seperti ini biasanya dalam kosmogunagama hanya untuk bangunan suci, tetapi di Yogyakarta ditujukan untuk Keraton. Oleh karena itu, tidak aneh bila Keraton Jogja dalam bahasa wayang berarti gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane. Artinya inilah negara yang besar kekuasaannya, terang benderang dunianya, menjulang tinggi kemasyhurannya, dan tersohor sampai jauh.

Sumbu filosofi antara Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak memiliki konsep sangkan paraning dumadi dimana terdapat dua sebutan yaitu sangkaning dumadi untuk sebutan dari Panggung Krapyak ke Keraton kemudian paraning dumadi untuk sebutan dari Tugu ke Keraton. Keraton Yogyakarta terdapat lampu yang tidak pernah padam sejak Hamengkubuwono pertama disemayamkan di gedung Proboyekso. Lampu ini disebut lampu Kyai Wiji yang melambangkan keabadian. Oleh karena itu, filosofi tersebut muncul di Keraton Yogyakarta.

Sembari itu, penting bagi seluruh komponen masyarakat Yogyakarta yang berada di sumbu filosofi untuk mengetahui bahwa terdapat sumbu filosofi dan sumbu imajiner di Kota Yogyakarta ini. Oleh karena itu sosialisasi terus dilakukan, sehingga tidak hanya bangunan cagar budayanya saja yang diunggulkan tetapi juga nilai-nilai filosofis yang ada di sumbu filosofi pun harus meresap ke jiwa masyarakat dan menjadi patron di kawasan tersebut. Hal ini akan menjadi kebanggan bersama nantinya.

Menurut Dr. Didik Purwadi, M.Sc selaku Asisten Keistimewaan DIY, sebutan Kota Jogjakarta Istimewa telah hadir sejak pada tahun 1950 yang dijelaskan pada undang-undang no.3 ditahun 1950, bahwa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta itu setingkat dengan provinsi, maka tidak disebutkan provinsi Yogyakarta, melainkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Isi dari pernyataan tersebut telah diperjelas masyarakat bersama semua komponen yang bermuara pada undang-undang keistimewaan, yakni UU no 13 tahun 2012. Tujuannya adalah dengan keistimewaan ini dapat mewujudkan pemerintah yang demokratis dan baik, meningkatkan kesejahteraan dan ketentraman, mewujudkan tatanan kepemerintahan dan tatanan sosial yang berkebhinekaan, menjaga peran dan tanggung jawab kesultanan dan kadipaten pakualaman serta mengembangkan kebudayaan Yogyakarta sebagai bagian dari kekayaan bangsa. Kemudian mengingat bahwa kota Jogja tempat masyarakat dari beragam suku, maka tidak heran jika Jogja dikatakan sebagai miniatur Indonesia.

Tugu Golong Gilig menjadi point of view Sultan pada saat duduk di bangsal manguntur tangil. Dahulu tugu ini tingginya 25 meter. Pada 10 Juni 1756 tugu tersebut runtuh kemudian dibangun tugu yang sekarang ini menjadi landmark kota Yogyakarta. Sebenarnya bentuk tugu yang sekarang ini salah. Akan tetapi tidak dapat diubah menyerupai Tugu Golong Gilig karena sudah menjadi cagar budaya.Oleh karena itu, terdapat door diorama Tugu Golong Gilig di sebelah tenggara.

Ir. Edi Muhammad selaku perwakilan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sangat mendukung sumbu filosofi diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia kerena Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pariwisata, dan kota pendidikan. Terlebih lagi sumbu filosofi mulai dari Tugu sampai Keraton bahkan sampai ke Panggung Krapyak yang menandakan bahwa sebagian besar berada di wilayah kota Yogyakarta. Usulan sumbu filosofi ini juga telah dituangkan di dalam rencana tata ruang baik di RT, RW, maupun di Rancangan Umum Tata Ruang Kecamatan (RUTRK) sebagai kawasan cagar budaya. Wujud dukungan Pemerintah Kota DIY adalah perubahan nama jalan yang semula Jalan Mangkubumi dan Ahmad Yani menjadi Jalan Marga Utama, Marga Mulya, dan Pangurakan. Begitu pula dengan pengelolaan selama ini yakni membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Pariwisata yaitu PT. Malioboro karena telah mengelola pelaksanaan selama ini. Terlebih lagi Malioboro merupakan objek wisata yang sangat strategis. Pemkot Yogyakarta juga membentuk kelurahan-kelurahan budaya. Pemkot Yogyakarta berharap semoga usulan sumbu filosofi tersebut dapat terwujud dan terealisasi.


Dampak fisik yang terwujud nantinya dari usulan ini adalah ekonomi. Jadi, diharapkan usulan ini dapat menyejahterakan masyarakat Yogyakarta. Selain itu, dampak positif lainnya adalah menambah nilai kekhususan Yogyakarta yang tidak dimiliki daerah lain. Dukungan dari masyarakat juga diperlukan untuk menjaga dan melestarikan sumbu filosofi, salah satunya dengan mempunyai rasa memiliki.
Apabila sumbu filosofi sudah terwujud, perlu membentuk organisasi yang mengelola sumbu filosofi tersebut. Salah satu oraganisasi yang sudah terbentuk adalah sekretaris bersama satuan ruang strategis yang berjumlah delapan belas orang. Sekarang ini, Dinas Kebudayaan sedang menyiapkan organisasi yang lebih teknis. Organisasi ini nantinya yang akan mengawal sehari-hari, seperti mempunyai kantor, SDM, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi. (Tim Jogja TV, Sumber Bincang Hari Ini, Selasa 31/07/2018).