Tradisi Nyadran di Dusun Kragilan Kuatkan Kerukunan Warga

Admin | Jumat, 09 Juni 2017 14:39

Sleman, JOGJA TV| Bulan Ruwah atau disebut juga bulan Syaban dalam kalender Islam dipandang sebagai bulan penting bagi masyarakat Jawa. Bulan ini merupakan bulan pelaporan atas segala amal perbuatan manusia. Di bulan ini pula masyarakat Jawa menghaturkan sembah bakti kepada arwah leluhur yang telah menghadap sang Kuasa. Wujud bakti kepada arwah leluhur disimbolkan melalui upacara adat sadranan atau nyadran. Setiap bulan ruwah tiba masyarakat Jawa di berbagai tempat menggelar tradisi sadranan. Tak terkecuali pula masyarakat Dusun Kragilan, Desa Sidomoyo, Kecamatan Godean, Sleman. Mereka menggelar sadranan setiap tanggal 15 bulan Ruwah di Makam Jiwatmoloyo.

Sejak pagi hari masyarakat Dusun Kragilan berkumpul di makam Jiwatmoloyo untuk melaksanakan upacara sadranan. Mereka menaburkan bunga dan membaca tahlil untuk mendoakan arwah para leluhur agar diampuni dosa-dosanya dan diterima arwahnya di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selain memanjatkan doa mereka juga menyiapkan sesaji berupa nasi gurih, ingkung ayam dan jajan pasar. Sesaji berupa makanan ini merupakan ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan atas limpahan rejeki yang telah diterima.

Sesaji yang wujudnya bermacam-macam ini meyimbolkan makna kerukunan. Warga dengan bermacam karakter berkumpul bersama dengan satu tekad dan satu tujuan untuk kegiatan kebaikan. Demikian ungkap Panitia Acara, Ngadiyo Hadisiswoyo.

Setelah selesai melakukan doa bersama warga kemudian membagikan sesaji makanan yang telah disiapkan kepada seluruh warga yang hadir di Makam Jiwatmoloyo. Saat mereka makan bersama seolah tak ada sekat yang memisahkan. Semua warga berkumpul menjadi satu dalam suasana kerukunan. Melalui tradisi makan bersama ini pula terkandung harapan agar seluruh warga mendapatkan barokah baik berupa keselamatan maupun limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Sesepuh dusun Kragilan, Atmo Sugiyarto Tradisi sadaranan di Desa Kragilan merupakan warisan dari para pinisepuh di dusun setempat. Para pinisepuh tersebut menggagas untuk menggelar sadranan guna mengirim doa kepada arwah leluhur yang telah menghadap sang Pencipta. Mereka pun menentukan hari baik untuk menggelar sadranan yakni pada hari jumat tanggal 15 bulan Ruwah.

Di samping untuk mendoakan arwah para leluhur sadranan juga efektif untuk menjaga kerukunan warga. Dalam upacara tersebut seluruh warga Kragilan berkumpul di Makam Jiwatmoloyo yang dibangun sejak tahun 1949. Mereka saling bergotong royong membersihkan makam dan mengirim doa untuk arwah leluhur masing-masing. Makam Jiwatmoloyo sendiri berasal dari kata Jiwatmo yang artinya hidup dan laya yang berarti mati. Sehingga Jiwatmoloyo bermakna bahwa semua yang hidup pasti akan mati dan kembali kepada sang Pencipta. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 06/06/17)

Artikel Terkait