Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten

Admin | Selasa, 23 Oktober 2018 15:11

Yogyakarta, Jogja TV | Semua wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 adalah milik Keraton. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu untuk wilayah sebelah timur Sungai Opak dikuasai oleh pewaris takhta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta. Sedangkan wilayah sebelah barat Sungai Opak diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. KGPH Hadiwinoto memaparkan Dahulu tidak hanya Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul saja, bahkan sampai wilayah Madiun dan Banyumas ikut menjadi milik Keraton Ngayogyakarta.

Sistem pertanahan di DIY bersifat istimewa. Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang telah digunakan oleh masyarakat dapat diwariskan secara turun temurun tetapi tetap dalam bentuk aset lembaga. Tanah-tanah kagungan Ndalem (milik Sultan) dapat digunakan masyarakat luas baik untuk usaha perorangan, lembaga, bahkan kantor pemerintahan semuanya bisa. Asalkan siapa pewaris selanjutnya jelas kata Ir. Bayudono selaku Pengageng Kawedanan Keprajan Kadipaten Pura Pakualaman. KGPH Hadiwinoto mengatakan bahwa dari dulu sudah dibangun rumah warga sejak 250 tahun yang lalu. “Jadi sejak perjanjian Giyanti tanah-tanah kasultanan memang untuk warga dan kawula Ngayogyakarta yang ikut berjuang melawan Belanda”, kata KGPH Hadiwinoto

Masyarakat hingga saat ini dapat bermukim dan berbudidaya di tanah Kasultanan atau Kadipaten dengan kekancingan atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Pura Pakualaman, tetapi bukan sebagai hak milik. Setiap tahunnya pihak Kasultanan dan Kadipaten akan melakukan pendataan ulang inventarisasi untuk mengetahui data terbaru siapa saja yang telah menempati tanah Kasultanan maupun tanah Kadipaten. Ir. Bayudono menghimbau Untuk semua warga yang mempunyai kekancingan tetapi sudah kadaluwarsa untuk segera melaporkan kepada RT, RW, atau Kelurahan yang kemudian bisa kita tindaklanjuti untuk pembaharuan.

Menurut KGPH Hadiwinoto langkah-langkah yang perlu dilakukan jika surat kekancingan mereka hilang, pertama lapor ke aparat. Atas laporan tersebut kemudian ke kantor Paniti Kisma yang berada disebelah barat pagelaran alun-alun utara Yogyakarta. Disana akan kembali dicek apakah tanahnya masih utuh, misalnya 100 meter benar-benar 100 meter (luasnya masih sama atau tidak). Pengecekan akan ditindaklanjuti oleh staf keraton ke Desa (disurvei ulang). Langkah selanjutnya, atas dasar adanya UUK (Undang-Undang Keistimewaan) Pemerintah Daerah Tingkat II akan memberikan rekomendasi yang berhubungan dengan tata ruang (misalnya untuk tempat tinggal). Setelah semua syarat terpenuhi, Keraton baru bisa memproses untuk memberikan surat kekancingan sebagai tempat tinggal. Untuk biaya pengurusan surat kekancingan sendiri pihak Keraton tidak mematok harga. Jadi hanya sekedar tali asih dan tidak membebani atau tidak ada standar harus sekian, tidak jelas KGPH Hadiwinoto.

Terkait pertanahan dan tata ruang di situs Warungboto, warga mengusulkan bahwa fungsi situs Warungboto dikembalikan seperti dulu, yaitu untuk pemandian Putri Keraton. Untuk airnya sendiri bisa disalurkan dari pam. Lalu berkaitan dengan tanah disekitar situs Warungboto yang satu petak dan belum memiliki sertifikat, salah satu warga bernama Mochtar Hadi meminta untuk mendapatkan sertifikat tanah tersebut. Karena jika sudah memiliki sertifikat tanah tersebut, warga disekitar situs Warungboto bisa membuka usaha seperti berjualan makanan, minuman, souvenir, dan lain sebagainya. Dengan adanya hal itu, dapat meningkatkan kesejahteraan warga sekitar situs Warungboto.

Menanggapi hal diatas, Gusti Hadiwinoto menjawab Untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan warga seperti tadi, sudah saya sampaikan mungkin nanti dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang bisa menyerap dengan danais”. Situs Warungboto masuk kedalam salah satu daftar cagar budaya, jadi ketika ada usulan terkait pemugaran perlu dikonsultasikan dulu ke pemerintah pusat karena sumber dana berasal dari APBN pusat.

Dalam rangka pelestarian cagar budaya, Keraton mengajak beberapa dinas pemerintahan seperti Dinas Pertanahan dan Tata Ruang untuk menata ulang tanah-tanah di Yogyakarta. Kemudian juga kepada Dinas Pariwisata agar dapat bekerjasama mempromosikannya, salah satunya situs Warungboto. Dengan demikian masyarakat tahu akan keberadaan situs tersebut. Selain itu, warga sekitar situs Warungboto diharapkan dapat ikut berpartisipasi dalam pelestarian situs sehingga warga merasa memiliki. (Tim JogjaTV).